Cerita ini bermula ketika gue, gantiin adek gue jualan. Karena adek gue mesti ngaji dulu di rumah. Well, ini adalah hal yang menyenangkan. Segala sesuatunya menyenangkan, barang jualan yang menyenangkan, rekan-rekan sesama pedagang yang menyenangkan, pembeli yang menyenangkan, langit, tanah, pohon-pohon, sampai dengan para kucing yang terlihat menyenangkan.
Belum terjadi apa-apa sampai detik ini.
Selang setengah jam kemudian…
*ddrrtt drrrt drrt!!
Hape gue bergetar, sms masuk, pemberitahuan kalau kuliah besok jamnya di majuin, dari jam 8 ke jam 7. Well… its easy, rumah gue deket kampus, 10 menitan sambil ngesot ke sana ke mari, menggelinding ke sono ke sini sampe nyempetin motong rumput tetangga juga bakal nyampe. Gue pikir, ah abis jogging jebret jebret mandi, ini-itu dah tinggal ke kampus. Hm… gue tanggepin info itu dengan menyebarkannya kembali ke seantero kelas gue by sms. Tidak lupa kepada rakyat kurang mampu dan rakyat terlantar.
Ga lama kemudian…
*drrrt drrttt drrttt!!
Hape kembali bergetar. Telfon dari salah satu play boy tak jadi di kelas, si Rendi Pangalaman
“Halo?”
“Oi Py, kau di mana?” Suara bass bin datar menyahut di seberang sana.
“Di rumah, ngapa?” Dengan baiknya aku merespon antusias
“Ada nomor Telkomsel kau?” Masih dengan suara datar.
“Ada. Ngape?” Aku harap anak ini tidak sedang mengMLM ku sekarang
“Dinda kabur dia.” Juga masih terdengar datar.
“Hah? Iya? Yang serius kauuu?!.” Bagaikan diterpa angin, hujan, badai dan jemuran belum kering, ku rasa perasaanku saat itu.
“Iya tadi di telpon nangis-nangis dia, dibilangnya dia abis dimarahi sama bapaknya. Coba kau telpon dulu dia ya.”
Aku berpikir sekilas, sebenarnya anak ini memang suaranya datar saja, atau memang dia buta nada dan tidak berperasaan? Come on, temannya kabur. Seharusnya dia bisa lebih ekspresif kan? Seharusnya adegan itu seperti ini.
*ddrrtt drrrtt ddrttt
*Pip!
“Hallo.”
“Oi!! Py kau di mana?!!! SHhh!! Ah!! SHh! Ah!!.” (Dengan nafas tersengal-sengal).
Sehingga pengaruhnya gue kan bisa lebih excited gitu nanggepinnya.
“Di rumah. Ngapa?”
“Ooiii!! Kau tau nggakk?!!! Aii maaaakkk… Sii Dddiinndaaa!! Leadernya Pesek Ladieess!!! Dia kaburrr!! Tau ga si kau?!!! Iii!!! COba la kau pikir!! Gimana dia tuu!! Ada nomor telkomsel kau?!!! Cobak hubungi dia ya!!! Cari tau dia dimana sekarang!! Uuulaalaaa ada hadiah menanti loooh di akhir acaraaa… *melet melet*.”
Lihatlah, beda sekali kan? Mana lebih bagus? Versi asli, atau versi gue? Gak perlu dijawab, gue udah tau semua, lo lo pade pasti beranggapan punya gue yang lebih ekspresif dan bikin MUI bisa mengharamkan diri gue untuk selama-lamanya. Hahahhahahaha. Op!
Well. Kembali ke realitanya. Dinda, salah satu cewek bermulti talenta di kelas gue, punya suara bagus dan pinter sulap. Sedikit bercerita tentang dia, dia ini bisa dibilang penyanyi, dari panggung ke panggung, hm… panggungnya dia gotong sendiri. Hahahaha.
Soal suara gak perlu di sangsikan, doi bagus. Dan untuk menambah daya tariknya, dia bisa sulap, dia bisa make kaca mata, anehnya tu kaca mata kagak nyantol di hidung tapi bisa bertengger di muka dia… Gila gak tu?!
Salah seorang temen gue pernah berusaha menyadarkan gue, bahwa Dinda bukan pesulap, dia memang gak bisa nyantolin gagang kaca mata di hidungnya. Tapi Dinda punya pipi sekokoh jiwa pejuang! Jadi, kacamatanya nempel di pipi, kagak di hidung.
Ah, tapi gue! Si anak genius! Penggemar jamu anak sehat! Gue gak bakal semudah itu dibodoh-bodohi. Gue tetep yakin, kalau yang dilakukan Dinda itu, salah satu teknik sulap dia yang keren! Cayo Dinda!! ^_^ Aku padamuuu!!! ( Hahahaha)
Nah, itu seputar Dinda. Problemnya adalah, sekarang anak itu kabur. Dia kabur dalam keadaan berurai air mata, gundah gulana, tersakiti, kusut masai, ah… yang gue pikirin, semoga dia gak lupa bawa kameramen atau minimal sadar diri untuk merekam dirinya sendiri. Yah… lumayan kan, buat dijadiin film ntarannya, judulnya “Abang Tukang Bakso Mari Mari Sini”. (E eh -_- )
Wah! Dinda kabur, dan si Rendi ini minta gue buat nyari die. Hah! Aku harus segera, jangan sampai Dinda ditemukan duluan oleh sekelompok gembala sapi atau Spongebob dan Patrick lalu dimasukan ke jaring karena dikira ubur-ubur! Walau bagaimanapun bibir Dinda tetap lah bibir manusia! Bukan tentakel ubur-ubur!!
(Pembaca semua yang kenal Dinda, tolong bilang sama Dinda, aku gak kenal dia #panik#takut)
Ah! Pokoknya harus gerak cepat!! Tunggu aku Dindaaa!!!
Motor gue geber.
“GRRRNNGG!!! GRRRNGGG!!!”
Hemaviton! GRRNGGG!! Hemaviton GRRRNGG!!!
Hm… Bak siput mencari mangsa, aku mencari Dinda ke sana ke mari. Sreeet… Sreeet… Tidak ketemu juga. Hah, dari kejauhan aku sudah mendengar suara Patrick bernyanyi kesenangan “Berburu dubur dubur! Berburu dubur dubur!”. Aku jadi semakin panik.
*Tess! Tess! Tess!
Bulir-bulir air menetes di wajahku, sayup-sayup terdengar musik dangdut *eh musik klasik mempengaruhi emosiku… Apakah aku menangisss?!!! Tuhan!! Mengapa aku menangis!!! Tidaaaakkk!!! Dindaaa di mana kau naaakkk!!!
Ya. Aku kehujanan. Pikiranku melayang ke Dinda, apakah Dinda sudah ditemukan, sudah pulang ke rumah kah? Apakah ada tempat berteduh untuknya? Atau… paling tidak… Apakah dia membawa payung? Inilah yang paling penting. Setidaknya hujan-hujan begini Dinda bisa sambilan menjadi ojek payung, kan lumayan nyari duit tambahan buat membeli sepetak rumah.
(Aaaiiiss Cadas!)
Setelah aku pikir-pikir, aku memilih untuk tidak meneruskan pencarianku, kenapa? Apa karena aku ingin menjadi ojek payung juga? Tentu tidak. Aku hanya ingin pulang, aku rindu rumahku, rindu orangtua ku, rindu saudara-saudara ku, dan juga… Kamar mandi. Heheh, baiklah, sebenarnya aku sakit perut :P Ditambah udara dingin begini, itu membuat perut semakin panas loh. Lagipula Rendi sudah menyarankan aku untuk pulang juga, secara hari sudah malam, dan Dinda tau tau BBM dengan mengatakan.
“Ga usah cari aku Py.”
(Zoom in-zoom out-zoom in-zoom out)
Aku tercekat membacanya.
Dalam hati aku berkata…
…
Hatiku berkata…
…
APA?
Kan hatiku yang berkata. Mana bisa didengar! Logika dong lo! Mikir!! Bikin emosi.
(Maaf penulis ini sedikit gangguan jiwa, setelah Negara api menyerang, otaknya baling akibat tersedot septitank).
Selang beberapa menit kemudian, setibanya aku di rumah. Hm! Selanjutnya adalah adegan slow motion.
Aku buka pagar, masuk ke halaman, ke arah pintu rumahku, sudah terbayang wajah ibu dan adik-adikku, tak tahan lagi aku, aku segera berlari… berlarii… dan berlarii lagi…
Menuju kamar mandi. Di sanalah aku melepas rindu dengan jamban tercinta.
*Kecipak! Kecipuk! Jebrat! Jebret! Jebrooottt!!!*
Kira-kira pukul 11 malam. Sesudah sempat BBMan bersama Dinda dan Rendi. Untuk Dinda, aku pikir dia punya privasi dia sendiri, aku gak maulah kepoin dia. Yang jelas, Tuhan aku sama Tuhan Dinda sama, sehingga aku mohon sama Tuhan, semoga Tuhan selalu melindungi Dinda. Amiin.
Begitu juga dengan Rendi. Dia berpikiran yang sama denganku. Ceilah!
Cerita ini berakhir dengan Dinda kembali ke rumahnya dalam keadaan bersimbah air comberan, karena pada saat hujan, dia yang sudah kabur, berubah pikiran dengan berlari pulang. Karena hari sudah gelap, hujan, jalanan becek dan ia berlari, walhasil Dinda terpleset ke got.
TAMAT
Cerpen Karangan: Happy Wulandari
Facebook: Cerita Happy/Happy Wulandari Sarwono