Aku dilanda sebuah rasa yang hadirnya karena cinta, rasa yang hampir menyerap seluruh sumber air di mataku. Namanya Rindu. Ketika aku tak bisa memilih kepada siapa aku harus merindu, dan kapan waktunya aku akan berhenti mengecap rasa itu.
Kakiku terus berlari meski pijakannya mulai merapuh hingga tak sekuat kemarin. Sebagai seorang atletik aku dituntut untuk selalu berkembang di setiap kompetisi, namun sekarang aku tak lagi berambisi sebagai juara, aku hanya lari karena aku ingin melakukannya.
Boston, senin 15 April 2013
Dimulai sebuah perayaan tahunan Boston Marathon di Ibukota Massachusets, As. Kami bak sepasang burung yang terbang bebas memecah malam, bersama menghitung bintang-bintang hingga sayap kami tak mampu lagi terbentang. Dan hari ini kami sepasang kijang yang akan berlari di atas tanah yang sama. Aku ingin menghadiahkan trofi boston marathon untuk gadis bernama kinaya itu. Aku ingin bilang padanya. Terima kasih atas lima tahun yang telah kau berikan, kinaya.
Sebelum meninggalkan garis start aku sempat mencium keningnya. semalam kami juga sempat melakukan perayaan kecil. kami melepaskan ratusan balon berbentuk hati ke udara… ’Kay, aku akan pergi ketika aku merasa sangat bahagia’. Desah kinaya malam itu, aku pikir hanya lelucon, gadis itu memang tak pandai membuat lelucon. Namun, kalimat sederhana itu malah membuatku terjaga dari tidurku semalam.
Jika aku tahu siang itu menjadi detik terakhirnya, akan kuhentikan waktu agar siang tak cepat berlalu. Bom Boston telah merenggut separuh hidupku. Dia sekarat sedangkan aku hanya bisa berharap hari ini adalah sisa mimpi buruk dari tidurku semalam, namun jika mimpi, kenapa terasa seperih ini…?. Tubuhnya dipenuhi darah yang terus mengucur hampir di seluruh organ tubuhnya hingga wanita itu melepaskan nafas terakhirnya.
Jakarta, kamis 30 mei 2013
“kay, kinaya pasti bangga atas kemenangan loe hari ini” ujar salah seorang kawan sekaligus rivalku dalam kompetisi kali ini. Namun, aku tak lagi menemukan kebanggaan dalam kemenanganku, yang aku tahu, airmata ini tak terbendung lagi ketika langkahku berhasil menyentuh garis finish. Dari 27 ribu orang kenapa harus gadis itu…?. mungkin Tuhan juga sudah mulai jenuh mendengar pertanyaan yang tak ada bedanya.
“kamu yakin yas ini pilihan terbaikmu?” tanya ibu dengan wajah sendu melepas kepergianku
“kalau kay ingin sembuh kay harus pergi ke tempat di mana kay hancur, bu” kataku memberikan pengertian.
“kalau itu mau kamu, pergilah dan kembali jadi kayaza yang kuat”
“maaf bu…” desahku sambil menjatuhkan tubuhku ke dalam pelukannya.
“jangan meminta maaf, yas. karena cinta tak pernah salah” jawab wanita separuh baya itu seraya membalas pelukanku.
Boston, senin 3 juni 2013
Aku telah kembali ke tempat di mana kau telah membawa sebagian nafasku, kinaya, memulai hidup baru dengan bayangmu. Jika aku tak diijinkan memiliki ragamu maka ijinkanlah aku memiliki bayangmu.
Pagi ini Boston masih terasa sendu. Aku berjalan menyelusuri tepian kota itu. Mengulang kembali rekaman yang terpasang di otakku, sebuah memori yang tak akan pernah terhapus dari benakku. Puluhan orang terluka, ribuan mata berduka, jutaan cinta tertunda.
Boston, rabu 5 juni 2013
Hari pertama memulai status sebagai mahasiswa di Boston University. aku tak ingin lagi berlari, karena sesuatu yang kukejar sudah pergi terlalu jauh. Aku hanya akan hidup dengan normal, makan dengan baik dan tidur dengan nyenyak hingga aku kembali hidup, bukan sekedar hidup, tapi benar-benar hidup.
Aku tetap berjalan meskipun dikejar deadline. Aku hanya ingin hidup dengan sederhana, ketika semua orang berlari mendahuluiku aku akan tetap berjalan.
DUAGGG…!!
“Aww…” Pekik seorang gadis bermata coklat setelah menabrak trotoar dengan scooternya
“are you okay…?” tanyaku membantunya berdiri.
“yeahh, I’m okay” jawabnya meski mimiknya tak baik-baik saja.
Apes banget gue pagi ini. Gerutu gadis itu dengan bahasa indonesia yang fasih.
“gue juga apes pagi ini” ujarku sambil berjalan membelakanginya.
“hei… setelah lima tahun gue nunggu di sini, loe orang itu” ungkapnya entah ditujukan pada siapa.
“hi, aku Miley…” lanjutnya menjadi seribu kali lebih bersemangat.
“oohh, aku kay…” kataku meneruskan langkah yang sempat tertunda.
“kay, gue ralat… ternyata, ini hari terbaik gue” pekiknya terdengar sedikit berlebihan untuk seseorang yang baru dikenalnya
Usai kelas berakhir aku bergegas untuk menemui seorang teman berkewarganegaraan Spain. Aku sengaja mempercepat langkahku setelah sadar ada seseorang yang membuntutiku sejak dari kelas tadi.
“hei you…” pekikku membalikan tubuh secara tiba-tiba. Seorang gadis di belakangku belum sempat menyembunyikan wajahnya ketika aku terlanjur famiiliar dengan wajah yang tak asing itu.
“heehe, gue kangen,” katanya dengan wajah memerah.
“sama gue?” celetukku spontan
“not you, but indonesia… sayang gue nggak punya wajah indonesia”
“nasionalisme itu bukan tentang wajah, tapi tentang darah” ujarku tanpa ekspresi.
“hei kay, mil…” sapa seseorang dengan rambut pirang dan tubuh jangkung.
“jake..?, kalian saling kenal”
“sorry gue buru-buru jake, bye” pamitku pada orang Boston itu sambil berjalan menjauhinya.
“Jake..?” ulang miley masih penasaran.
“okay.. we are best friend” ujar jake langsung mengerti isyarat yang diberikan miley.
“selalu ada jalan menuju Roma” kata miley dengan ide-ide ajaib di kepalanya.
Boston, minggu 1 september 2013
Kinaya ke mana aku harus pergi ketika aku mulai merindukanmu dan kepada siapa aku harus tersenyum ketika aku bahagia nanti. Like today, aku benar-benar terbebas dari jeratan mata kuliah yang menjenuhkan. Dari lantai empat lima apartemen aku siap menembus keterbatasan yang menghambat langkahku. Di area copley square aku menggunakan waktu senggangku untuk tidur siang sebelum suara bising sekelompok anak mengganggu tidurku.
“Wee…move..!!, dont disturb my freeday, just leave from here” kataku mengusir sekerumunan anak boston itu.
“whats wrong…?” tanyaku pada seorang anak yang masih tak bergeming.
“hem, nothing”
“Anak aneh…” celetukku berbahasa.
“makasih kak” timpalnya membuatku tertegun dengan kalimat bahasa indonesianya.
“Heii… mau jadi tour guide gue?,” pintaku padanya. Raut wajah anak itu tampak hambar tak berselera. Namun dugaanku meleset, dia ahlinya tersenyum,
“sepakat” ujarnya mengejutkanku.
Siang ini dimulai dari beberapa tempat bersejarah di Boston. Anak itu tampak fasih menjelaskan seluk beluk boston. Ia tak kelihatan seperti orang indonesia, wajahnya pun melebur seperti penduduk asli boston, hanya warna bola matanya saja yang menunjukan kebanyakan orang timur. Sambil menikmati hot dog aku masih penasaran apa yang membuat anak itu harus berjalan dengan kaki kayu hingga tanpa sadar aku terus mengusiknya.
“hemm… mereka ngejek aku karena kaki kayu ini, kak” tuturnya tiba-tiba membuatku tak enak hati.” bom boston lima bulan yang lalu, maybe God loves me, makanya aku berbeda” kali ini giliran aku yang tertegun, sekejab wajah kinaya kembali memenuhi pikiranku.
“mimpi kamu..?”
“aku dikeluarkan dari sekolah atletikku, kak. Mereka bilang, mana ada atlet lari dengan kaki kayu”
“Kamu mau lari lagi..?”
“satu kaki pun aku masih bisa berlari, karena berhenti bermimpi itu bukan pilihan, iya kan kak..?”
kalimat terakhirnya hampir membuatku tersedak. Aku tak mengerti anak usia lima belas dapat memandang sisi hidupnya dari arah yang baik. Tuhan mengirimkan anak itu tepat waktu. Aku mulai menyukainya, dan dimulai dari sore itu kami sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar makan hot dog pinggir jalan atau berbagi cerita bersama, termasuk tentang kinaya dan mimpiku yang tertunda.
“will… aku janji, walaupun bukan hari ini, aku pasti akan lari”
“harus, aku mau lihat kakak di arena yang sesungguhnya, promise..?”
“I promise, will..” janjiku tak berniat mengecewakannya.
Boston, selasa 1 oktober 2013
Hari ini tanpa will, aku sedang menghitung langkahku di trotoar sekaligus menghitung hari-hari yang kulewati tanpa kinaya. Lama-lama bayangnya mulai kabur, aku pun tak sering lagi menjumpainya di alam mimpiku. Mungkin lukaku mulai mengering, meski tak kan bisa hilang bekasnya. Sampai pada langkah ke sembilan puluh sembilan sebuah bayangan meneduhkan langkah ke seratusku. Sudah beberapa bulan aku mulai terbiasa dengan sikap kekanak-kanakannya. Tetapi kali ini wajah pengganggunya seperti ia sembunyikan sementara mata coklatnya semakin dalam menatapku.
“kay, ayo kita lari berdua..!!”
“seharusnya kamu meminta yang lain, mil. karena aku nggak akan bisa mengabulkan permintaan yang satu itu”
“nggak adil..!!, kenapa seseorang yang sangat ingin berlari dia ngga memiliki kesempatan, sedangkan seseorang yang memiliki kesempatan dia malah berhenti berlari”
“loe lagi marahin gue..?” tanyaku tak mengerti.
“hemm, ini salah gue..” ujarnya pergi dengan mata lembab. Kali ini bukan dia yang mengejarku, tapi aku yang tak mengijinkannya pergi.
“hei.. mau cerita..?” kataku menarik lengannya untuk duduk di sampingku. Suasana canggung sejenak, belum ada yang mulai bicara hanya ada suara beberapa burung di atas pohon yang kami jadikan tempat berteduh.
“ada berjuta juta orang yang menginginkan kaki sepertimu, kay. Tapi, kenapa loe malah berhenti bermimpi?”
“nggak semua pertanyaan harus ada jawabannya, mil..” ujarku padanya. Miley tak bereaksi. Hanya ada derungan kendaraan yang melalu lalang di jalanan. Miley menghapus airmatanya, lalu berlari meninggalkanku. Lampu penyeberangan belum menunjukan jalan, tetapi miley melenggang saja memotong jalan yang siang itu tampak padat. Suara decitan rem dan klakson mulai saling menyaut, situasinya semrawut dan untuk pertama kalinya ada orang yang membuatku harus berlari mengejarnya setelah kinaya.
“kamu lari kay…”
“bodoh… kenapa lo selalu bikin gue marah?” kataku setelah berlarian menggandengnya ke tepian jalan.
“kay, bisakah aku menjadi alasanmu”
“maaf mil, sesuatu yang aku kejar udah sampai finishnya”
“apa cinta juga nggak bisa jadi alasan..?”
“gue takut memiliki karena gue nggak mau kehilangan lagi mil”
“aku berharap bertemu kamu sebelum kinaya” katanya membuatku hampir tersentuh. Tatapan itu membuatku seolah menjadi orang yang paling kejam. Membuat seorang wanita menangis sama saja aku ini pengecut.
“kalau memang nggak bisa, aku akan berhenti kay sebelum aku terlalu jauh” katanya seperti orang yang putus asa. Kepergiannya malam itu seperti tak akan kembali lagi.. tapi bukankah itu yang aku inginkan…?, kenapa aku jadi tak konsisten semenjak pertemuanku dengannya.
Waktu semakin bergulir, hanya sesekali aku melihat miley lewat di depanku. Tatapannya asing. Ia benar-benar menepati ucapannya. Tapi kenapa di saat ia memutuskan untuk berhenti aku malah baru memulai gejolak di hatiku. Aku takut ketika harus memulai kembali, takut bertemu dengan rasa yang sama seperti rasa yang telah kau tinggalkan, kinaya.
“whats u up, man” tegur jake mengagetkanku.
“dari mana loe, jake?”
“Airport… miley kan hari ini terbang ke timur tengah”
“apa..?” ungkapku terkejut “dia benar-benar berhenti” desahku sembari mengambil langkah yang seharusnya sudah aku lakukan jauh hari.
Waktuku tinggal sepuluh menit lagi sebelum udara membawanya pergi dan mungkin tak kan kembali. Aku berlari… ya mungkin itu yang sedang aku lakukan karena aku bahkan lupa bagaimana rasanya berlari.
Bola mataku mengitari setiap sudut bandara, hingga suara langkah kaki yang sangat khas di telingaku semakin terdengar menonjol.
“will..?” kataku sambil mengatur nafas yang terengah engah sementara mulutku ternganga melihat tour guide kecil itu berdiri di hadapanku, di samping bocah itu seorang wanita mendongak tak kalah terkejutnya denganku,
“kay…” desahnya sambil mendikte kaki hingga ujung kepalaku. Kini aku mulai mengerti mengapa miley ingin melihatku menjadi kijang di tengah arena.
“berhenti berlari itu bukan pilihan, iya kan will?” kataku mengulangi ucapan wiley tempo hari.
“Iya, kak. Secepat kijang yang tak terkalahkan”
Boston, 15 april 2014
Aku menggenggam erat telapak tangannya yang lembut. Hari itu wiley berperan sebagai pemandu sorak kami, aku dan miley dalam perayaan Boston Marathon. Miley membuatku memiliki alasan untuk berlari. Dan aku tak harus takut kehilangannya, karena aku tak kan membiarkan cinta pergi untuk kedua kalinya, kalaupun pergi ia harus kembali. Cinta dan impian membuatku hidup, benar-benar hidup. Aku tak kan berhenti berlari sebelum aku benar-benar tak sanggup lagi berdiri. Berlari mengejar asa, tanpa takut akan terjatuh lagi, karena ada cinta yang akan membantuku bangkit ketika aku terjatuh nanti.
Kinaya maafkan aku telah memilih cinta yang lain. Percayalah ketika aku bahagia nanti aku akan tersenyum padamu karena kau pernah menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
“miley, will you marry me?” ungkapku tanpa ragu ketika kaki kami berdiri di atas garis finish, garis yang pernah melenyapkan selera hidupku. Kini di atas garis itu pula Tuhan kirimkan cinta untuk mengganti miliaran airmata yang telah terjatuh dari kelopak mataku. Karena setiap satu butir airmata yang kita jatuhkan ada rahasia Tuhan yang tak satupun malaikat tahu.
Cerpen Karangan: Dian Setianingsih
Blog: diansetyya.blogspot.com
Nama: Dian setianingsih
TTL: Banyumas, 12 Maret 1995
Alamat: Tunjung Kulon Rt 03/01, Banyumas, Jateng