Memang ribet kalau udah urusan sakit perut, entah kenapa akhir-akhir ini aku sering buang air besar. Bolak-balik wc membuat bunda kebingungan. Apalagi kucing peliharaan ku, mengeong melulu gara-gara tidak kubelai satiap saat. Dan gara-gara aku juga, engsel pintu kamar mandi nyaris tanggal, saat belari sembari membanting pintu.
Setelah selesai membuang hajat untuk kesekian kalinya, perut ini lumayan lega. Tidak lagi berkecamuk mengaduk-aduk di segala organ-organ dalam perut. Nampak oleh ku, bunda mulai membuka lembaran demi lembaran buku kecil. Lebih besar sedikit dari buku saku pramuka, namu buku yang bunda pegang saat ini lebih tebal.
“biasanya jam segini lihat gosip di tv, kok sekarang rajin baca buku bun.” ucapku agak nyeleneh
“ini bunda lagi cari resep obat tradisional” jawab bunda
“buat siapa, bun?”
“buat yang dobrak pintu tiap kali ke wc” sindir bundaku
Mendengar ucapan bunda, aku pun menjauh. Pasti disuruh minum jamu, yang rasanya jauh dari nikmat tapi khasiatnya jauh dari mujarab. Bukannya belagak ke kotaan, tapi jaman sekarang sepertinya kuno kalau minum jamu. Sekarang jamannya obat sirup dari apotek atau obat pil dari kedai terdekat. Cara membelinya pun, harus menunggu tukang jamunya muncul. Ribet kan!
Sewaktu aku nongkrong di warung gapleh, lagi duduk-duduk di sandaran kursi. Teman-teman ku juga menyarankan kalau aku minum jamu, apa lagi si Ragil paling setuju kalau harus minum jamu. “itu artinya lu mencret, vian.” Ucap dia sambil nujuk ke arah ku “obat yang tepat, ya jamu” tambahnya
“ngapain lu? Promosi jamu?”
“nih anak, kalau dikasih tau pasti jawabnya promosi lah.. inilah.. anulah” ucap Ragil emosi
“ya habisnya lu ngebet nyuruh gue minum jamu”
“kemarin kakek gue kena asam urat” kata Ragil
“terus minum jamu?” Tanya ku
“enggak, dia minta gue pijitin” ucap ragil seperti orang bego
Teman-teman yang lain serempak tersenyum, mereka bersama-sama menempeleng kepala Ragil. Tak mau ketinggalan aku ikut serta menempeleng kepala si Ragil. Habis, orang lagi serius, dia malah ngawur.
Lalu datang seorang gadis belia, ia adalah Zahra, tapi lebih dikenal dengan sebutan neng Ara. Rambutnya yang tergurai halus tertiup angin, dengan cepat ia memasangkan bando. Bodynya yang aduhai membuat ia makin mempesona. Tak jarang ia selalu digoda pengunjung yang sedang nongkrong.
Neng ara, yang notabene seorang siswi sma kelas 1, berkata sama dengan apa yang diucapkan Ragil sebentar ini. Mungkin dia menguping pembicaraan tadi, selidikku.
“jamu tuh, banyak manfaatnya bang vian, Ara saja sering minum”
“heh sering” aku agak ilfeel mendengarnya “emang sakit apa kamu neng?”
“Ara gak sakit kok, Cuma untuk menambah daya tahan tubuh. Soalnya Ara harus bantu ibu di sini”
“tuh vian, dengerin apa kata calon pacar gue. Jamu tuh banyak kasiatnya”
Mendengar Ragil ngebayol, neng Ara memasang muka kesal. Tiba-tiba tamparan tangan halus neng ara melayang ‘plakk’ menyambar pipi sebelah kanan Ragil. sekarang ia berlalu melangkah ke belakang. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan kejadian tadi, namun yang lain tertawa kejang-kejang, sambil menahan perut masing-masing.
“lu sih ke PeDean jadi makhluk, gimana rasanya kena salam tempel dari anak gue?” ucap ibu Dea, alias ibu kandungnya neng Ara.
Muka ragil mulai menekuk. Maksud hati hanya bercanda, tapi berubah menjadi derita. Sejenak mereka yang masih tertawa mulai memandang iba pada Ragil. Betapa malunya Ragil saat itu. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah kena gamprat, kena juga ceramah ibu Dea. Tapi tak apalah, hitung-hitung merubah sikap sesat Ragil.
Lantas aku mengajak ia pergi untuk berkeliling, di sekitar komplek rumahku. Ia mengaguk tanda setuju. Mungkin ia mau membuang muka dari calon ibu pacarnya yang masih pemurah.
Kembali menuju rumah, setelah seharian aku mehabiskan hari di luar. Terlihat seorang perempuan. di kejahuan. Nampaknya tua setahun atau dua tahun dariku yang baru naik jenjang SMA kelas 3. Kemudian ia menatapku, dan tersenyum, “vian ya?” ucapnya seperti telah mengenaliku “saya roimah, tadi disuruh ibumu kesini” ucapnya lagi
“Glek” lirihku menahan ludah, dilihat dari namanya, orang yang sekarang ada di hadapanku ini nampaknya tukang jamu. Badan ku mulai bergetar merinding memikirkan seandainya aku meminum jamu, yang pahit dan kurang sedap.
Dengan cepat aku berlari ke dalam rumah, tanpa menghiraukan ia bicara. Ibuku datang di saat tidak tepat, lalu tegak di depan pintu, seperti ingin menghadang laju langkah kaki ini. Namun berhasil ku hindari, dengan cara berlari zigzag seakan dibayangi lawan seperti permainan sepak bola.
Berlari aku menuju kamar, lalu segera mengunci pintu. Sedetik kemudian pintu terbuka kembali. Aku keluar. sekarang langkah ini menuju wc, terasa purut ini bergejolak lagi, ingin memuntahkan magma kuning yang ingin menyemburkan berbau tajam.
Setelah berlama-lama, berdiam diri di wc. Aku keluar, kembali ke kamar dengan perasaan lega. Ku ambil selimut dan kubaringkan raga ini di menelentang di kasur. Kata orang kalau kita sakit perut, lalu dibawa tidur. Rasa sakit perut akan hilang dengan sendirinya.
“terkutuklah kamu, vian.” Di depan ku kini berdiri tegak sebuah gelas raksasa berisikan cairan berwarna kecoklatan. Lengkap dengan seluruh anggota badan layaknya manusia. “Kau tidak memanfaatkan ku, kini kau menjelekkan khasiat ku. Rasakan pembalasan ku ini” ucapnya lagi.
Aku mulai ketakutan, tiba-tiba Guntur menggema di langit gelap. Sayup-sayup burung elang terdengar temani dentuman kilat-kilat yang menyambar. Alunan lagu lirih pun mulai terdengar. Gelas itu pun menumpahkan seluruh isi cairan coklatnya. Tanganku kini terangkat seakan ingin menghalau tumpahan yang akan datang membasahi. “tidak…” Teriakku.
“lebay.. lu. Tidak-tidak kayak acara eat bulaga aja” ada suara keluar dari awang-awang, fikirku. “ayo cepat bagun” ucapnya lagi. Tiba-tiba bumi berguncang, dan datang gelombang besar menerjang bak tsunami. Seketika tubuhku basah. Mata kini terbuka, ragaku terbagun di atas kasur. Ternyata, kejadian tadi hanya mimpi.
“dasar anak sombong.. gue ngenalin diri lu malah kabur” ucap seorang wanita, yang tidak lain adalah roimah.
“maaf, saya gak mau minum jamu mbak. Tolong jangan paksa saya”
“eh sinting, lu kira gue tukang jamu? Heuh..” ucapnya sembari melotot
“nah mbak siapa?”
“gue anak teman ibu lu, gue di suruh meracik obat untuk sakit perut. Memang sih mirip jamu”
“tuh kan, jamu”
“memang kenapa? Lu kok parno sama jamu!” ucap roimah sambil mencetuskan mukanya
Aku agak terkesima dengan gaya bicara mbak roimah. “lu kok parno sama jamu!”. Hatiku bertanya ‘apa salahnya kalau dicoba?’ toh, aku tidak akan mati. Tapi rasanya kalau cairan itu sampai masuk ke kerongkonganku, ibarat menelan air tuba. Meskipun aku tak pernah meminum air tuba.
Mbak roimah pun mendekap tanganku, ia melangkah mengajakku menuju dapur. Aku hanya bisa pasrah dibawanya ke dapur.
Lalu ia tunjukkan aku semua rempah-rempah yang tergeletak di meja dapur. Di lepas tangan ku dan mengambil sebuah jahe. “ini jahe, lu tau kan?” aku mengangguk. “gunanya menghangatkan badan dan meningktkan daya tahan tubuh”
Setelah itu ia mengambil semangkok kecil santan kelapa, “ini santan, you know? It is for adding sweet flavor after mixing of sugar. Ngarti lu?”
“ng.. ngak mbak” ucapku kebingungan
“anak zaman sekarang, banyak lagak. Bahasa inggris satu kalimat aja gak tau” ucapnya sewot. “santan ini yang nambah rasa manis ketika dicampurkan dengan gula, itu artinya”
Gila, namanya saja yang kampungan ‘Roimah’. Tapi berbeda jauh dari ilmu yang ia terapkan sekarang pada ku. Aku bangga padanya, masih ada seorang anak bangsa yang memperhatikan warisan leluhur nenek moyang terdahulu. Saking terpesonanya aku sampai melamun mendengar tiap alunan bicaranya.
“malah bengong, tadi dengar gak? Apa yang udah gue sebutin” kini matanya melotot tajam
“ya mbak, dengar kok” kataku
Segelas jamu pun tersaji. Kini berada di gengaman mbak roimah, setelah ia menggiling sepotong kecil jahe hingga halus dan mencapurkan kencur. Ditambah santan yang sudah di laruti gula secukupnya, lalu dituang di gelas yang saat ini ia gengam.
Aku minum jamu itu.
“turis-turis yang datang ke Indonesia, gak kayak orang kita” aku berhenti meminum, setelah mendengar kata-kata mbak roimah. “kalau orang kita ke luar negeri, ‘kebanyakan pergi shopping yang gak jelas’. Beda sama orang barat dia tidak hanya berwisata, tapi juga belajar. Termasuk meramu jamu”
“gak juga mbak, contohnya teman ku dia dapat beasiswa sepak bola. Ia terbang ke Milan untuk belajar sepak bola di klub AC Milan” ucapku menyalahi mbak roimah
“maksud gue, orang kaya yang niatnya hanya hura-hura di negeri orang”
Aku menggangguk mengiakan. Dari pada harus mendengar ia mengoceh melulu. Lebih baik aku melahap habis jamu hasil racikan tangan mbak roimah.
Esoknya, aku seperti biasa sehabis pulang sekolah langsung menuju kedai gapleh. Aku berjalan dengan riang. Perut yang kemarin bergejolak kini. Kini adem ayem bagai musim salju.
Di sudut bangku sana, Ragil memandangi ku keheranan. Ia menatap seperti layaknya menyambut pangeran kerajaan datang.
Aku ceritakan perjalanan hidupku kemarin, penuh perjuangan untuk melawan rasa sakit perut dan takut meminum jamu. Sampai akhirnya sesosok pahlawan yang lumayan cantik datang memberiku sebuah senjata pamungkas bernama ‘jamu’.
Ia menjelaskan ini itu tentang jamu, tanpa letih mengajariku bagaimana meracik jamu. Hingga letihnya terbayar saat aku dengan rela meneguk segelas jamu. Dan hasilnya sakit perut yang mengurut perutku berangsur surut. Lega rasanya, tidak ada lagi lari menuju wc. Tidak ada lagi suara hantaman pintu yang membuat engselnya bergoyang. Dan tidak ada lagi hari ku tanpa membelai kucing peliharaan ku.
Namun. Yang ku terima cacian dari teman-teman satu tongkrongan, ibu Dea dan neng Ara. Mereka semua bersatu membuatku malu. Tapi, slow saja, toh… mereka hanya bercanda. Sebab kemarin aku teguh membenci yang namanya jamu. Sampai ada dua orang remaja yang berselisih gara-gara mengupdate jamu, mereka tidak lain adalah Ragil dan neng Ara.
Kini mereka terlihat saling menjauhkan diri. Tapi api antara mereka sudah padam, setelah neng ara meminta maaf sebelum aku tiba di kedai gapleh ini. Huft.. aku berterima kasih pada mbak roimah yang mengupdate tentang jamu sedari kemarin. Dan tak lupa Allah swt yang menyembuhkan aku dari derita kemarin.
Sambil tersenyum aku duduk memanjangkan tangan di sandaran kursi. Dan tertawa ketika ragil mulai membuat ulah lagi.
Cerpen Karangan: yonanda darmawilya
Blog: nandngilerbaca.blogspot.com