Suatu hari seorang temanku satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian Kerel. Ternyata Kerel tak sendiri. Kerel memang tak sendiri. Kerel terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia masih duduk di bangku SMA.
Aku dengar kabar, beberapa bulan sebelum tiba-tiba kondisi Kerel menurun tiap harinya karena kekebalan tubuhnya yang telah habis, ternyata aku baru tau dari kakak Kerel, bahwa ada tiga orang teman Kerel yang mendahului Kerel menutup mata. Dan hebatnya penyakit yang mereka alami sama persis dengan yang Kerel alami.
sebelum menutup mata, Kerel masih menyelesaikan sekolahnya. Di kota yang sama dengan sekolahku. waktu itu pula Kerel hanya mendengar kabar tentang keluarganya beberapa kali lalu keluarganya pun begitu, karena Kerel berada di kota yang berbeda dengan keluarganya. Karena pengetahuan yang masih sangat minim tentang gejala penyakit HIV/AIDS, Kerel tak menyadari apa penyebab dari kematian ketiga temannya itu. Setelah Kerel pergi menyusul ketiga temannya itu, barulah keluarga Kerel menyadari betapa kejamnya virus HIV/AIDS itu.
Kabar mengejutkan aku dengar dari keluarga Kerel, setelah tiga bulan Kerel meninggal, salah seorang sahabat Kerel, Kubil, teman sepermainan Kerel di Komplek kala Kerel masih SMA, meninggal dengan proses sakit yang sama. Hanya saja kubil tidak harus mengalami waktu yang lama seperti Kerel alami. Hanya kurang lebih satu bulan Kubil mengalami sakit dan akhirnya dia meninggal.
Bagaikan persahabatan yang sejati dan abadi, empat sekawan itu pun meninggal dunia dengan penyakit yang sama, penyakit yang mereka tidak sadari dari mana asalnya dan bagaimana akibatnya.
Hampir satu tahun Kerel meninggalkan kami semua, di pertengahan bulan Juni 2003, tak disangka kepergian Kerel pun disusul lagi oleh kematian sahabat sejatinya satu komplek, Tris. Memang sebelum Kerel menutup mata, dia pernah bercerita pada kami, dengan siapa saja waktu SMA dia menggunakan serbuk putih terlarang itu. Salah satu nama yang disebutkan sangat familiar sekali di telingaku. Tris memang sahabat dari kecil Kerel. Bisa dikatakan dimana ada Tris, dapat dipastikan disitu pula ada Kerel.
Usia Tris setahun lebih tua dari Kerel. Kerel pun menganggap Tris sebagai sahabat sekaligus kakak. Namun sangat disayangkan, kakak yang dijadikan panutan malah menjerumuskan Kerel ke dalam jalan menuju kematian.
Aku ingat ketika Kerel terbaring tidak berdaya di RS. Beberapa teman komplek Kerel datang menjenguknya. Salah satu dari teman itu adalah Tris, namun entah apa yang dibisikkan Kerel ke telinga Tris, hingga sepertinya perlahan-lahan Tris bergerak mundur dan sedikit menjauhi Kerel Belakangan ini yang aku ketahui dari salah seorang teman Kerel, bisikan itu berbunyi, “Tris, badanku rasanya lemas banget, sepertinya organ dalamku telah hancur semua”. Tak disangka karena bisikan itulah, Tris mulai menghindar Kerel.
Setelah Kerel meninggal dunia, terdengar kabar bahwa Tris mulai sakit-sakitan. Meskipun terkesan keluarga Tris menutup rapat tentang apa sebenarnya penyakit Tris, namun karena keluarga Kerel telah lebih berpengalaman menghadapi gejala-gejala penyakit HIV/AIDS, rasanya sudah bisa ditebak apa sebenarnya penyakit Tris. Karena dilihat dari gejalanya, sakit yang dialami Tris sangat mirip dengan yang pernah dialam Kerel.
Mungkin kejadian yang dialami Kerel adalah pelajaran yang sangat berharga bagi keluarga Tris. Hikmah baik yang dapat diambil bagi keluarga Tris adalah keluarga Tris menjadi lebih sigap dan cepat dalam mengobati Tris. Dalam kurun waktu hampir satu tahun, secara intensif keluarga Tris membawa dia untuk selalu chek up ke RS. Dan dalam kurun waktu kurang lebih dari satu tahun itulah kondisi kesehatan Tris bagaikan sebuah yoyo.
Kurang lebih satu bulan Tris dirawat di RS. Tris pun kembali ke rumah. Terlihat kondisi Tris sudah mulai membaik. Badannya menjadi agak gemuk dan dia pun mulai berjalan-jalan keluar rumahnya. Suatu ketika pernah dia terlihat begitu lahapnya menyantap siomay didepan rumahnya ditemani oleh istri tercintanya.
Kala itu kulihat betapa bahagianya mereka. Kebahagiaan yang tidak dapat kurasakan dengan Kerel. Sejujurnya dalam hati kecilku sedikit kecewa. Bukan kecewa karena melihat kebahagiaan mereka. Tetapi aku kecewa akan keadilan Tuhan. Mengapa Tris bisa sembuh sedangkan Kerel tidak? Padahal mereka sama-sama pernah mengalami kondisi yang sama. Tapi ternyata aku salah besar. Bagaikan sebuah yoyo tadi, kondisi baik Tris pun tidak berlangsung lama. Berangsur-angsur kondisi Tris mengalami penurunan hingga akhirnya Tris pun meninggal dunia.
Ternyata Tuhan maha adil. Istri Tris pun harus mengalami rasa sakit yang sangat perih dan kesedihan yang amat sangat dalam seperti yang pernah aku rasakan. Karena akhirnya Tris pun menyusul Kerel dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun setelah Kerel pergi mendahuluinya.
Sudah dapat dipastikan bagaimana sedihnya istri Tris karena ditinggal oleh suami yang sangat dia cintai. Hal yang sama yang pernah aku rasakan sebelumnya. Dan bagaikan persahabatan yang sejati, Kerel dan teman-temannya pun kini telah berkumpul kembali di alam mereka yang baru. Alam yang lebih abadi. Apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang sejati? Entahlah. Yang jelas mungkin ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka. Setidaknya mereka tak perlu lagi merasakan sakit. Mungkin dengan adanya kejadian ini, banyak hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya bagi kita yang ditinggalkan untuk menyelamatkan generasi penerus kita.
thanks :
RATNA CARLA NADIA